Kamis, 17 Mei 2012

Monopoli (Ikhtikar)

Monopoli (Ikhtikar)
hartono,ma 
UISB Solok Nan Indah


BAB I
A.  LATAR BELAKANG
            Monopoli berasal dari ekonomi kapitalis dengan pandangan hidup liberalnya, banyak ditentang oleh masyarakat. Sebab monopoli ternyata membawa dampak negative  bagi kompetisi pasar yang sehat. Pada pasar monopolis produsen-produsen lain tidak akan dapat bertahan., bahkan yang lebih buruk produktifitas dengan sengaja diturunkan demi tujuan politis, yaitu mengatur harga agar maksimal. Maka dengan sendirinya akan terjadi kelangkaan akan barang (scarcity) dan dampaknya akan sangat dirasakan oleh masyarakat (konsumen). Islam dengan sistem ekonominya mencoba untuk mementahkan ideologi monopolistik yang bertentangan dengan sistem ekonomi kapitalis.
Para pedagang hanya mencari keuntungan semata tampa melihat mana yang dibolehkan dan mana yang terlarang, para ekonom kita sekarang tidak mengetahui tentang tata cara berdagang menurut al-qur’an dan hadis penulis ingin melihat sejauh mana keharaman dalam monopoli, dalam  upaya menciptakan persaingan usaha yang sehat, atas inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut UU No. 5 Tahun 1999). Pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1999 yang konsisten dan konsekuen diharapkan dapat memupuk budaya bersaing yang jujur dan sehat sehingga dapat terus menerus mendorong dan meningkatkan daya saing di antara pelaku usaha.[1]
Presiden Republik Indonesia Undang-undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1999. Tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat pasal 17.
1. Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
     2.  Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi  dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
  a.  barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
             b.  mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
        c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50%    (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.[2]
Salah satu bentuk perilaku yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat adalah Jabatan Rangkap, Direksi dan/atau Komisaris. suatu Jabatan Rangkap (interlocking directorate) terjadi apabila seseorang yang sama duduk dalam dua atau beberapa dewan direksi perusahaan atau menjadi wakil dua atau lebih perusahaan yang bertemu dalam dewan direksi satu perusahaan. Hal tersebut meliputi jabatan rangkap direksi di antara perusahaan induk, satu anggota perusahaan induk dengan anak perusahaan anggota lain atau anak perusahaan berbagai perusahaan induk. Situasi tersebut biasanya timbul akibat keterkaitan keuangan dan kepemilikan bersama atas saham.
Jabatan Rangkap direksi dapat menghambat persaingan usaha dengan beberapa cara. Apabila orang tersebut duduk dalam dua perusahaan yang bersaing (direct interlock) maka hubungan horizontal ini dapat melahirkan pembentukan strategi bersama di antara perusahaan yang berkaitan dengan harga, alokasi pasar, dan penetapan jumlah produksi.
Jabatan Rangkap Direksi pads tingkat vertikal mengakibatkan integrasi vertikal kegiatan, misalnya kegiatan di antara pemasok dan pelanggan, sehingga menghambat persaingan di antara para, pemasok dengan membuat persetujuan timbal balik di antara mereka. Keterkaitan antara jabatan direksi lembaga keuangan dengan jabatan direksi perusahaan non sektor keuangan dapat mengakibatkan diskriminasi syarat pembiayaan bagi pesaing dan berperan sebagai katalisator dalam upaya memperoleh penguasaan vertikal, horisontal, atau kongklomerasi.


BAB.II
PEMBAHASAN

A.      MONOPOLI (IHTIKAR)
            Ikhtikar (الاحتكار ) artinya zalim (aniaya) dan merusak pergaulan
(اساء المعاشرة ), upaya penimbunan barang dagangan untuk menunggu melonjaknya harga barang penimbunan barang adalah salah satu perkara dalam perdagangan yang diharamkan oleh agama karena bisa membawa madhorot. Para ulama mengemukakan arti atau definisi ihtikar (menimbun) berbeda-beda sepertinya halnya yang diterangkan dibawah ini Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani mendefinisikan : Penimbunan atau penahan barang dagangan dari peredarannya.
Imam Al-Ghazali mendefinisikan :Penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika harga melonjak.
          Ulama madzhab maliki mendefinisikan :Penyimpanan barang oleh produsen baik makanan, pakaian dan segala barang yang merusak pasar. http://assilasafi.wordpress.com/2011/07/02/akal-dan-wahyu-dalam-perspektif-islami. Ulama Malikiyah mendefinisikan monopoli (ihtikar) dengan:
               _Pic3
Penyimpanan barang oleh produsen: baik makanan, pakaian, dan barang yang boleh merusak pasar. [3]
Monopoli atau ihtikar  artinya menimbun barang agar yang beredar di masyarakat berkurang, lalu harganya naik. Yang menimbun memperoleh keuntungan besar, sedang masyarakat dirugikan(1). Menurut Adimarwan "Monopoli secara harfiah berarti di pasar hanya ada satu penjual"(2). Berdasarkan hadist :
عَنْ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ يُحَدِّثُ أَنَّ مَعْمَرًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
 dari Sa'id bin Musayyab ia meriwayatkan: Bahwa Ma'mar, ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Barangsiapa menimbun barang, maka ia berdosa'," (HR Muslim (1605). jelas monopoli seperti ini dilarang dan hukumnya adalah haram, karena perbuatan demikian didorong oleh nafsu serakah, loba dan tamak, serta mementingkan diri sendiri dengan merugikan orang banyak. Selain itu juga menunjukan bahwa pelakunya mempunyai moral dan mental yang rendah.[4]

B.        Jenis Produk monopoli (Ihtikar)
Terdapat perbedaan kandungan ketiga definisi di alas dalam menimbun jenis produk yang disimpan atau ditimbun di gudang, sekalipun dalam ihtikar ketiga definisi itu memberikan pengertian yang sama yaitu, menimbun jenis,barang yang diperlukan masyarakat, dengan tujuan menjualnya ketika  telah melonjak, barang itu baru dipasarkan. Akan tetapi, dari jenis produksi disimpan atau ditimbun di gudang, terdapat perbedaan pendapat.
Ulama Malikiyah sebagian ulama Hanabilah, Abu Yusuf (731-798M), dan lbn'Abidin(1198-1252.H/1714-1836M), keduanya pakar fiqh, Hanafi, menyatakan bahwa larangan ihtikar tidak terbatas pada makanan, pakaian, dan hewan, tetapi meliputi scluruh produk, yang diperlukan masyarakat. Menurut mereka, yang menjadi illat (motivasi hukum) larangan melakukan monopoli (ihtikar) itu adalah 'kemudharatan yang menimpa orang banyak". Oleh sebab itu, kemudharatan yang menimpa orang banyak terbatas pada makanan, pakaian, dan hewan, tetapi mencakup seluruh produk yang diperlukan orang.
Imam asy-Syaukani tidak merinci produk apa saja yang disimpan, sehingga seseorang dapat dikatakan sebagai muitakir (pelaku ihtikar) menyimpan barang itu untuk dijual ketika harga melonjak. Bahkan asy-Syaukani tidak membedakan apakah penimbunan itu terjadi ketika berada dalam keadaan normal (pasar stabil), ataupun dalam keadaan pasar stabil. Hal ini perlu dibedakan, karena, menurut jumhur ulama, 'jika sikap pedagang dalam menyimpan barang bukan untuk merusak harga pasar tidak ada larangan. Menurut Fathi at-Duraini), Imam asy-Syaukani memang termasuk kedalam kelompok ulama yang mengharamkan ihtikar pada seluruh benda/barang yang diperlukan masyarakat.
 Sebagian ulama Hanabilah dan Imam al-Gazali mengkhususkan keharaman ihtikar pada     jenis produk makanan saja. Alasan mereka adalah yang dilarang dalam nashsh (ayat atau hadis) hanyalah makanan. Menurut mereka, karna masalah ihtikar menyangkut kebebasan pemilik barang untuk menjual barangnya dan keperluan orang banyak. maka larangan itu harus terbatas pada apa yang ditunjuk oleh nashsh saja.
Sedangkan ulama Syafi'iyah dan Hanafiyah membatasi ihtikar pada komoiti yang berupa makanan bagi manusia dan hewan. Menurut mereka, komoditi yang terkait dengan keperluan orang banyak pada umumnya hanya dua jenis ini. Oleh sebab itu, perlu dibatasi.
    Setelah menganalisis berbagai definisi yang dikemukakan para ularma klasik dan memperhatikan situasi perekonomian pada umumnya
Fathi ad­ Duraini, mendefinisi ihtikar dengan: 
Artinya. Tindakan menyimpan, harta, manfaat atau jasa, dan enggan menjual dan  memberikannya kepada orang lain yang mengakibatkan rnelonjaknya harga pasar secara drastik disebabkan persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar, sementara masyarakat, Negara atau pun hewan amat inetnerlukan produk, manfaat, atau jasa itu
Monopoli (Ihtikar), menurut ad-Duraini tidak saja.menyangku komoditi, tetapi juga manfaat suatu komoditi, dan balikan jasa dari para pemberi jasa; dengan syarat "embargo" yang dilakukan para pedagang dan pemberi jasa ini boleh membuat harga pasar tidak stabil, padahal komoditi, manfaat, atau jasa itu sangat diper­lukan oleh masyarakat, negara dan lain-lain. Misalnya, pedagang gula pasir di awal bulan ramadhan tidak mau menggelar barang dagangannya, karna menge­tahui bahwa pada minggu terakhir bulan Ramadan masyarakat sangat memerlukan gula untuk menghadapi lebaran. Dengan menipisnya stok gula di pasar, harga gula akan naik. Ketika itulah para pcdagang gula menjual gulanya, sehingga pedagang itu mendapatkan untung yang berlipatganda. Demikian juga para pedagang kain, mentega, serta produk lainnya yang sangat diperlukan masyarakat pada mass menjelang Hari Raya Aidil Fitri
 Berdasarkan pada ayat-ayat al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw. atas, para ulama fiqlh sepakat menyatakan bahwa ihtikar tergolong ke dalam perbuatan yang dilarang (haram). Seluruh ulama sepakat menyatakan bahwa melakukan ihtikar itu hukumnya haram, meskipun terjadi perbedaan pendapat tentang cara menetapkan hukum itu, sesuai dengan sistim pemahaman hak yang dimiliki mazhab masing-masing. Perbedaan pendapat itu adalah sebagai berikut:
  Pendapat pertatna, dikemukakan olch ulama Syafi'iyah, Hanabil Malikiyah, Zaidiyah, dan Zahiriyah.144 Menurut mereka, melakukan ihri, hukumnya haram. Alasan yang mercka kemukakan adalah ayat dan hadis-ha yang tclah discbutkan di atas. Menurut ulama Malikiyah, ihtikar hukumi haram, dan hares dapat dicegah olch pernerintah dengan segala cara, karena  perbuatan itu memberikan mudharat yang besar terhadap kehidupan masyarakat, stabilitas ekonomi masyarakat dan negara. Oleh sebab itu, penguasa harus segera turun  untuk mengatasi kasus ihtikar, yang paling utama dipellhara adalah hak konsumen karena menyangkut orang banyak; sedangkan hak orang yang melaku ihtikar hanya merupakan hak pribadi. Tatkala kepentingan pribadi bertentan dengan kepentingan orang banyak, maka yang didahulukan adalah kepentingan orang banyak.
 Ulama Syafi'iyah mengatakan bahwa hadis yang menyatakan bahwa ihtikar merupakan suatu pekerjaan yang salah, mengandung pengertian yg dalam. Orang yang melakukan kesalahan (al-khatha') dengan sengaja berarti telah berbuat suatu pengingkaran terhadap ajaran syara'. Mengingkari ajaran syara' merupakan perbuatan yang diharamkan. Dengan demikian, perbutan ihtikar termasuk ke dalam salah satu perbuatan yang diharamkan, apalagi dalam hadis itu pelakunya diancam dengan neraka.[5] 
Monopoli (Ihtikar). Monopoli secara harfiah berarti di pasar hanya ada satu penjual. Frank Fisher menjelaskan kekuatan monopoli sebagai "the ability to act in unconstrained way" (kemampuan bertindak [dalam menentukan harga] dengan caranya sendiri), sedang­kan Besanko (et.al.) menjelaskan monopoli sebagai penjual yang menghadapi "little or no competition" (kecil atau tidak ada persaingan) di pasar.'[6]
   Dalam Islam keberadaan satu penjual di pasar, atau tidak adanya pesaing, atau kecilnya persaingan di pasar, bukanlah suatu hal yang terlarang. Siapapun boleh berdagang tanpa peduli apakah dia satu-satunya penjual atau ada penjual lain. Jadi monopoli dalam artian harfiah, boleh-boleh saja. Akan tetapi, siapapun dia tidak boleh melakukan ihtikar.[7]
Monopoli (1htikar} adalah mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi. Abu Hurairah r.a meriwayatkan hadis Rasulullah Saw. sebagai berikut:


"Barangsiapa yang melakukan ihtikar untuk merusak harga pasar sehingga harga naik secara tajam, maka is berdosa." (Riwayat Ibnu Majah dan Ahmad)
Di zaman Rasulullah Saw., salah satu cara melakukan monopoli (ihtikar) adalah dengan cara menimbun agar harga naik akibat kelangkaan tersebut. Secara lebih spesifik mazhab Syafii dan Hanbali mendefinisikan monopoli (ihtikar) sebagai:


"Menimbun barang yang telah dibeli pada saat harga bergejolak tinggi untuk menjualnya dengan harga yang lebih tinggi pada saat dibutuhkan oleh penduduk setempat atau lainnya."[8]

C.       DASAR Hukum Pelarangan Monopoli (IHTIKAR)
Para ulama fiqh yang tidak membolehkannya adalah hasil induksi dari nilai-nilai universal yang dikandung al-Qur'an yang menyatakan bahwa setiap perbuatan aniaya, termasuk di dalamnya monopoli (ihtikar), diharamkan.
       Dalam surat annisa’ Surat annisak (4): 29
  
 Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan  jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.


     Makna umum ayat:
Ayat ini menerangkan hukum transaksi secara umum, lebih khusus kepada transaksi perdagangan, bisnis jual beli. Sebelumnya telah diterangkan transaksi muamalah yang berhubungan dengan harta, seperti harta anak yatim, mahar, dan sebagainya. Dalam ayat ini Allah mengharamkan orang beriman untuk memakan, memanfaatkan, menggunakan, (dan segala bentuk transaksi lainnya) harta orang lain dengan jalan yang batil, yaitu yang tidak dibenarkan oleh syari’at. Kita boleh melakukan transaksi terhadap harta orang lain dengan jalan perdagangan dengan asas saling ridha, saling ikhlas. Dan dalam ayat ini Allah juga melarang untuk bunuh diri, baik membunuh diri sendiri maupun saling membunuh. Dan Allah menerangkan semua ini, sebagai wujud dari kasih sayang-Nya, karena Allah itu Maha Kasih Sayang kepada kita

     Penjelasan dan hikmah
1.    Transaksi harta dibahas begitu rinci dalam Islam, karena 1) sebagaimana kita ketahui, harta adalah ruh kehidupan bagi siapapun dan kapanpun. Kalau tidak dibuat aturan main dengan benar, pasti akan timbul permusuhan, padahal Islam tidak menginginkan pertumpahan darah hanya karena harta. Karena itu dalam perdagangan ini Islam mengaturnya agar satu sama lain bisa hidup berdampingan secara rukun. 2) hakekat harta ini pada dasarnya adalah hak bersama. Sehingga setiap individu punya hak untuk mendapatkannya dan mengelolanya. Asal dengan landasan adil dan kerelaan, jauh dari kedhaliman, manipulasi, kebohongan, kecurangan dan paksaan.
2.   Islam itu bukan liberal kapitalis, yaitu sebuah sistem perekonomian yang sekarang ini dilaksanakan oleh barat, dimana mereka memberikan kekuasaan mutlak kepada individu untuk mengeruk harta kekayaan alam semesta ini tanpa memperhatikan asas keadilan, kebersamaan dan kerelaan. Lawannya adalah komunis sosial, yang semua harta ini adalah milik negara, tidak ada individu yang berhak menguasai. Dua sistem ini berusaha saling menghancurkan dan mengambil pengaruh di ekonomi dunia. Walaupun diakui atau tidak, kedua sistem ini sudah terbukti kegagalannya, dengan banyaknya pegangguran, kemiskinan dan banyak negara-negara penganutnya yang bangkrut.
3.        Islam adalah sebuah sistem, manhaj, jalan kehidupan yang sangat lengkap, komprehensif, universal. Artinya Islam tidak hanya mengatur hubungan kita dengan Allah (ibadah atau ritual) tapi juga mengatur hubungan antarmanusia bahkan antara manusia dengan alam semesta ini, termasuk di dalamnya sistem perekonomian Islam. Mungkin baru sekarang ini kita dapat melihat munculnya banyak perbankan syariah. Itu adalah baru bagian kecil dari sistem Islam dalam perekonomian.
4.   Dalam Islam ada teori kepemilikan, yaitu manusia itu diberi oleh Allah hak kepemilikan harta. Tapi di samping itu dia diberi kewajiban mengeluarkan harta tatkala diperlukan, misalnya zakat untuk menolong kelompok masayarakat yang dalam keadaan kekurangan. Atau seperti di zaman khalifah Umar r.a, ketika terjadi paceklik, maka diambil-lah harta orang-orang kaya untuk dibagikan kepada rakyat, karena dalam harta tersebut ada hak untuk mereka. Dalilnya adalah karena muslimin itu bagaikan satu bangunan, saling menguatkan. Karena itu umat islam adalah ummatan wasatha (umat moderat, tidak kebarat atau ketimur, tidak ke kapitalis liberal juga tidak ke komunis sosialis).
5.   Sistem ekonomi Islam itu sungguh luar biasa. Sebuah sistem yang mendasarkan kepada nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kebersamaan, kejujuran, jauh dari kedhaliman dan riba. Karenanya, banyak pakar perekonomian dunia mulai melirik sistem perekonomian Islam, karena siapapun yang mempraktekkan sistem Islam dengan benar dan professional insya Allah ia akan sukses.
6.   Menyadari hal itu, maka anak kita perlu kita didik setinggi-tingginya, di samping dasar keimanan dan keislaman yang kuat, anak juga perlu menguasai ilmu-ilmu dunia. Karena kemajuan umat ini tergantung pada pendidikan kita. Maka perlu kita waspadai pembodohan terhadap umat Islam, misalnya kita disibukkan dengan hal-hal yang tidak penting, perbedaan yang tidak prinsip dan isu-isu “murahan” yanga sengaja dibuat oleh musuh Islam, sehingga kita dilupakan untuk memikirkan bagaimana seharusnya mengatur negara, mengusai ekonomi, melestarikan alam dan sebagainya. Kita menjadi umat yang tidak pernah berpikir bagaimana kita harus bangkit membangun peradaban dunia. Padahal Allah telah menjelaskan bahwa sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (ar-Ra`d: 11).
7.   Pada ayat ini (an-Nisa`: 29) adalah merupakan salah satu gambaran kecil dari kesempurnaan Islam, dimana Islam menegaskan bahwa kita diajari oleh Allah bagaimana berbisnis dengan benar.

8.       يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا  yang diseru adalah orang-orang beriman karena yang mau sadar, mau tunduk, mau berubah, mau ikut aturan itu adalah orang beriman. Kalau kita mengaku beriman, tatapi kita masih ragu tentang kebenaran sistem perekonomian Islam, seperti kita masih ragu keharamannya transaksi dengan riba dan bank konvensional, maka keimanan kita perlu dipertanyakan. Karena itulah Allah memanggil orang yang beriman secara tegas, agar mereka sadar untuk mau tunduk.
9.   Perlu dipahami, bahwa tidak ada hubungan secara langsung antara kekayaan dengan rajinnya shalat seseorang. Kalau mau kaya ya rajin bekerja. Kadang orang salah paham, “aku mau rajin shalat biar kaya”. Apa hubungannya? Shalat itu kan memang sebuah kewajiban bagi seorang hamba yang beriman. Dan Allah sudah menentukan ketentuannya atau sunnatullah yaitu barang siapa yang kerja dia akan dapat hasil. Adapun soal keberkahan, itu adalah dari Allah. Tapi secara dhahir kerja adalah salah satu wasilah untuk mendapatkan kekayaan. Baik kafir atau mukmin kalau dia mau bekerja dengan benar, maka ia akan dapat kekayaan. Walaupun tentunya bagi orang mukmin, hidup ini bukan hanya untuk menumpuk harta saja, tetap disana ada kehidupan akherat. Sehingga apa yang ia lakukan dan dapatkan didunia ini adalah untuk akheratnya kelak.
10.   لَا تَأْكُلُوا  Kita dilarang oleh Allah, padahal larangan itu menunjukkan haram kecuali ada dalil, sedang untuk ayat ini tidak ada dalil lain. Jadi haram hukumnya mendapatkan harta dengan cara yang tidak dibolehkan syara`.
11. Meskipun yang disebutkan di sini hanya “makan”, tetapi yang dimaksud adalah segala bentuk transaksi, baik penggunaan maupun pemanfaatan. Al-Quran sering menggunakan redaksi mana yang lebih menjadi prioritas. Artinya harta itu pada umumnya untuk dimakan, tapi bukan berarti memanfaatkannya boleh.
12.   أَمْوَالَكُمْ : (harta kalian). Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya harta adalah adalah milik umum, kemudian Allah memberikan hak legal kepada pribadi untuk memiliki dan menguasainya, tetapi dalam satu waktu Islam menekannya kewajiban membantu orang lain yang membutuhkan. Perlu diketahui, bahwa kalaupun harta itu sudah menjadi milik pribadi tapi bukan berarti kita diperbolehkan untuk menggunakannya kalau digunakan dalam hal yang tidak dibenarkan syariat, maka harta itu juga tidak boleh digunakan. Apalagi kalau kita mendapatkan harta tersebut dari orang lain dengan cara batil: tidak sesuai aturan syara`.
13.    إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً:ini adalah dzikrul juz lilkul. Artinya menyebut sebagian untuk seluruhnya, karena umumnya harta itu didapatkan dengan transaksi jual beli (perdagangan) yang didalamnya terjadi transaksi timbal balik. Selama transaksi tersebut dilakukan sesuai aturan syar`I, maka hukumnya halal. Tentu transaksi jual beli ini, tidaklah satu-satu cara yang halal untuk mendapatkan harta, disana ada hibah, warisan dll.
14. Para ulama mengatakan  عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ  (kalian saling ridha): Jual beli itu harus dilandasi dengan keikhlasan dan keridloan. Artinya tidak boleh ada kedhaliman, penipuan, pemaksaan dan hal-hal lain yang merugikan kedua pihak. Oleh karena itu, pembeli berhak mengembalikan barang yang dibeli ketika mendapati barangnya tidak sesuai dengan yang diinginkan. Tentang kejujuran, sejarah Islam telah mencatat banyak kisah tentang hal itu. Di antaranya, sebagaimana dikisahkah oleh Imam Ghazali, yang dinukil oleh Syaikh Yusuf Qordhawi dalam bukunya “al- Iman wal-Hayah”, bahwa Yunus bin Ubaid berjualan pakaian dengan harga yang beragam. Ada yang berharga 200 dirham dan ada juga 400 dirham. Ketika ia pergi untuk sholat, anak saudaranya menggantikan untuk menjaga kios. Pada saat itu datang seorang Arab Badui (kampung) membeli pakaian yang berharga 400 dirham. Oleh sang penjuan diberikan pakaian yang berharga 200 dirham. Pembeli merasa cocok dengan pakaian yang ditawarkan, maka dibayarlah dengan 400 dirham. Badui tersebut segera pergi dan menenteng pakaian yang baru ia beli. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan Yunus bin Ubaid. Ia sangat paham bahwa pakaian yang di beli Badui tersebut adalah berasal dari kiosnya. Maka ditanyakanlah, “Berapa harga pakaina ini?”  “Empat ratus dirham”. Yunus menjawab, “ Harganya tidak lebih dari dua ratus dirham, mari kita kembali untuk kukembalikan kelebihan uangmu”. Badui tersebut menjawab “Ditempat lain pakaian semacam ini harganya 500 dirham, dan saya sudah merasa senang”. “Mari kembali bersamaku, karena dalam pandangan agama kejujuran lebih berharga dari dunia seisinya” Sesampainya di kios, dikembalikannya sisi uang pembelian tersebut sebanyak 200 dirham.
Subhanallah, apa masih ada orang seperti ini sekarang ?!, kalaupun ada tentu tidak banyak jumlahnya. Bukankah sekarang semua orang mengejar keuntungan yang berlipat-lipat, walau harus dengan cara yang tidak syari`. Namun begitulah keimanan yang benar jika telah terpatri dalam kalbu, Iman akan melahirkan sesuatu yang dianggap sebagaian orang mustahil. Semoga kita termasuk yang sedikit tersebut. Amin.        
15. Penyebutan transaksi perdagangan (bisnis) secara tegas dalam ayat ini menegaskan keutamaan berbisnis atau berdagang. Dalam bayak hadist diterangkan tentang keutamaan berbisnis di antaranya adalah “Mata pencaharian yang baik adalah mata pencaharian pedagang yang jujur. Kalau menawarkan tidak bohong, kalau janji tidak nyalahi, kalau jadi konsumen, jadi konsumen yang baik, jangan mencari-cari cacatnya, kalau jadi pedagang tidak memuji-muji barangnya sendiri. (promosi boleh, tapi yang wajar, dan riel). Kalau punya hutang tidak menunda, kalau memberikan hutang pada orang lain melonggarkan (HR. al-Baihaqi).
Dalam hadits lain Rasulullah bersabda, “Pedagang yang jujur, yang amanah, dia nanti di akherat kedudukannya bersama para Nabi, para shidiqin dan para syuhada” (HR. ad-Daruqudni).
Dalam hadits hadits tersebut Rosulullah saw. telah mengajarkan prinsip-prinsip berbisnis yang benar. Sehingga apabila seorang pedagang melaksanakannya, maka ia akan sukses dan barokah. Sebagaimana dalam sebuah kisah dikatakan, bahwa ada seorang syekh, dia pedagang. Dia shalat, diwakilkan kepada keponakannya, lalu datang orang kampung mau membeli. Diapun membeli dengan harta yang sudah disepakati. Setelah syekh tadi selesai, diberi tahu hal tersebut. Dia menyuruh agar pembeli tersebut dicari, karena harga yang diberikan itu adalah harga kemarin, padahal si pembeli sudah rela dengan harga tersebut.
16.   وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ  (jangan saling membunuh), apa hubungannya dengan bisnis? Sangat berhubungan. Dalam bisnis sering terjadi permusuhan. Kata ulama makna ayat ini adalah “jangan saling membunuh”. Adapun makna dhahirnya “jangan bunuh diri”. Keduanya bisa diterima, karena bisa saja orang berbisnis, bangkrut, stress, lalu bunuh diri. Jadi artinya harta yang kita kejar itu jangan sampai melalaikan dari tujuan kita, misi kita sebagai hamba  Allah, bahwa pada harta itu ada hak-hak Allah, harta itu tidak kekal, dan tujuan hidup kita bukan untuk itu. Jangan sampai menghalalkan segala cara, juga jangan lupa daratan kalau sudah kaya.
17.   إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا: (sesungguhnya Allah itu Maha Kasih sayang kepada kalian), di antaranya dengan memberikan penjelasan kepada manusia tentang sistem transaksi harta, agar manusia bisa hidup berdampingan, jauh dari permusuhan apalagi sampai bunuh-bunuhan hanya karena persaingan dagang. Karena itu sebgai orang mukmin harus tunduk dan percaya kepada seluruh aturan Allah dan Rasul-Nya. Karena semua aturan syariah itu adalah demi kemaslahatan umat.[9]
Ibnu qudamah mengemukan alasan yang berbeda lagi yaitu berdasar hadits nabi muhammad saw
نهى رسول الله عليه وسلم :اتحتكر الطعام (رواه الاثرم      Rasulullah SAW, melarang untuk menimbun (ihtikar -Atsram). ) dalam keperluan pokok manusia. (HR. Al [10] /
 [287] Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.
Dari hadis  Rasulullah  saw
وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ:
 ( اَلرِّبَا ثَلَاثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ اَلرَّجُلُ أُمَّهُ, وَإِنَّ أَرْبَى اَلرِّبَا عِرْضُ اَلرَّجُلِ اَلْمُسْلِمِ )  رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهْ مُخْتَصَراً, وَالْحَاكِمُ بِتَمَامِهِ وَصَحَّحَهُ
Dari Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Riba itu mempunyai 73 pintu, yang paling ringan ialah seperti seorang laki-laki menikahi ibunya dan riba yang paling berat ialah merusak kehormatan seorang muslim." Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan ringkas dan Hakim dengan lengkap, dan menurutnya hadits itu shahih


Di antara ayat-ayat itu adalah firman Allah dalam surat al-Ma'idah, 5: 2, yang berbunyi:          
                   dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan  tolong- menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.
Dalam surat lain Allah berfirman:jangan katnu berbuat aniaya dan jangan pula dianiaya. (QS   al-Baqarah 2: 279)
        Para ulama fiqh mengatakan bahwa ihtikar merupakan salah satu larangan Allah di atas. Dalam Sunnah Rasulullah saw. juga banyak dijumpai hadis yang tidak membenarkan perbuatan monopoli (ihtikar). Di antaranya, hadis yang menyatakan bahwa:

Siapa yang merusak harga pasar, sehigga harga itu melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di &dam api neraka pada hari kiamat. (HR ath-Thabrani dari Ma'qil ibn Yasar)

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum ihtikar, dengan perincian sebagai berikut:
1. Haram secara mutlak (3) (tidak dikhususkan bahan makanan saja), hal ini  didasari oleh sabda Nabi SAW:
مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
                  Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. (HR. Muslim 1605)

D.   Hukum Ihtikar
Para ulama berbeda pendapat tentang hokum monopoli (ihtikar), dengan perincian sebagai berikut:
1.      Haram secara mutlak (3) (tidak dikhususkan bahan makanan saja), hal ini didasari oleh sabda Nabi SAW:
                                 مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ                                
                Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. (HR. Muslim 1605)
Menimbun yang diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih bila memenuhi tiga kriteria:
   a. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk masa satu tahun penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan kurang dari satu tahun sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.
b. Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan harga mahal.
c. Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetatpi tidak termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat. maka itu tidak termasuk menimbun.(4)
 2. Makruh secara mutlak, Dengan alasan bahwa larangan Nabi SAW berkaitan dengan ihtikar adalah terbatas kepada hukum makruh saja, lantaran hanya sebagai peringatan bagi umatnya.
3. Haram apabila berupa bahan makanan saja, adapun selain bahan makanan, maka dibolehkan, dengan alasan hadits riwayat Muslim di atas, dengan melanjutkan riwayat tersebut yang dhohirnya membolehkan ihtikar selain bahan makanan, sebagaimana riwayat lengkapnya, ketika Nabi SAW bersabda:
مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ فَقِيلَ لِسَعِيدٍ فَإِنَّكَ تَحْتَكِرُ قَالَ سَعِيدٌ إِنَّ مَعْمَرًا الَّذِي كَانَ يُحَدِّثُ هَذَا الْحَدِيثَ كَانَ يَحْتَكِرُ
 Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. Lalu Sa'id ditanya,
"Kenapa engkau lakukan ihtikar?" Sa'id menjawab, "Sesungguhnya Ma'mar yang meriwayatkan hadits ini telah melakukan ihtikar!' (HR. Muslim 1605)
Imam Ibnu Abdil Bar mengatakan: "Kedua orang ini (Said bin Musayyab dan Ma'mar (perowi hadits) hanya menyimpan minyak, karena keduanya memahami bahwa yang dilarang adalah khusus bahan makanan ketika sangat dibutuhkan saja, dan tidak mungkin bagi seorang sahabat mulia yang merowikan hadits dari Nabi SAW dan seorang tabi'in [mulia] yang bernama Said bin Musayyab, setelah mereka meriwayatkan hadits larangan ihtikar lalu mereka menyelisihinya (ini menunjukkan bahwa yang dilarang hanyalah bahan makanan saja).
4. Haram ihtikar disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah, sedangkan tempat-tempat lainnya, maka dibolehkan ihtikar di dalamnya, hal ini lantaran Makkah dan Madinah adalah dua kota yang terbatas lingkupnya, sehingga apabila ada yang melakukan ihtikar salah satu barang kebutuhan manusia, maka perekonomian mereka akan terganggu dan mereka akan kesulitan mendapatkan barang yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain yang luas, apabila ada yang menimbun barang dagangannya, maka biasanya tidak mempengaruhi perekonomian manusia, sehingga tidak dilarang ihtikar di dalamnya.
       5. Boleh ihtikar secara mutlak, Mereka menjadikan hadits-hadits Nabi SAW yang memerintahkan orang yang membeli bahan makanan untuk membawanya ke tempat tinggalnya terlebih dahulu sebelum menjualnya kembali sebagai dalil dibolehkahnya ihtikar, seperti dalam hadits:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ رَأَيْتُ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ الطَّعَامَ مُجَازَفَةً عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَوْنَ أَنْ يَبِيعُوهُ حَتَّى يُؤْوُوهُ إِلَى رِحَالِـهِمْ
Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata: "Aku melihat orang-orang yang membeli bahan makanan dengan tanpa ditimbang pada zaman Rosulullah SAW mereka dilarang menjualnya kecuali harus mengangkutnya ke tempat tinggal mereka terlebih dahulu." (HR. Bukhori 2131, dan Muslim 5/8)
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani berkata:
"Imam Bukhori sepertinya berdalil atas bolehnya menimbun/ihtikar dengan (hadits ini), karena Nabi SAW memerintahkan pembeli bahan makanan supaya mengangkutnya terlebih dahulu ke rumah-rumah mereka sebelum menjualnya kembali, dan seandainya ihtikar itu dilarang, maka Rosulullah SAW tidak akan memerintahkan hal itu." (Fathul Bari 4/439-440).(5)
            Demikian pula pendapat tentang waktu diharamkannya ihtikar. Ada ulama yang mengharamkan  ihtikar setiap waktu secara mutlaku, tanpa membedakan masa paceklik dengan sudah lalu. Ini adalah pendapat golongan salaf. [11] masa surplus pangan, berdasarkan sifat umum larangan terhadap monopoli dari hadits yang

D.  Hikmah di Balik Larangan monopolik (Ihtikar)
Imam Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan  monopoli (ihtikar) adalah mencegah hal-hal yang menyulitkan manusia secara umum, oleh karenanya para ulama sepakat apabila ada orang memiliki makanan lebih, sedangkan mausia sedang kelaparan dan tidak ada makanan kecuali yang ada pada orang tadi, maka wajib bagi orang tersebut menjual atau memberikan dengan cuma-cuma makanannya kepada manusia supaya manusia tidak kesulitan. Demikian juga apabila ada yang menimbun selain bahan makanan (seperti pakaian musim dingin dan sebagainya) sehingga manusia kesulitan mendapatkannya, dan membahayakan mereka, maka hal ini dilarang dalam Islam(6).
Islam mengharamkan orang menimbun dan mencegah harta dari peredaran. Islam mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang pedih di hari kiamat. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman dalm surat At Taubah ayat 34-35:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (34) يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ (35)
       Artinya “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak  menafkahkannya pada  jalan Allah  maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka (lalu dikatakan kepada mereka): “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
            Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya dan menjauhkannya dari peredaran. Padahal, jika harta itu disertakan dalam usaha-usaha produktif seperti dalam perencanaan produksi, maka akan tercipta banyak kesempatan kerja yang baru dan mengurangi pengangguran. Kesempatan-kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa menambah pendapatan dan daya beli masyarakat sehingga bisa mendorong meningkatnya produksi, baik itu dengan membuat rencana-rencana baru maupun dengan memperluas rencana yang telah ada. Dengan demikian, akan tercipta situasi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dalam masyarakat.
            Penimbunan barang merupakan halangan terbesar dalam pengaturan persaingan dalam pasar Islam. Dalam tingkat internasional, menimbun barang menjadi penyebab terbesar dari krisis yang dialami oleh manusia sekarang, yang mana beberapa negara kaya dan maju secara ekonomi memonopoli produksi, perdagangan, bahan baku kebutuhan pokok. Bahkan, negara-negara tersebut memonopoli pembelian bahan-bahan baku dari negara yang kurang maju perekonomiannya dan memonopoli penjulan komoditas industri yang dibutuhkan oleh negara-negara tadi. Hal itu menimbulkan bahaya besar terhadap keadilan distribusi kekayaan dan pendapatan dalam tingkat dunia.[12]





PENUTUP
KESIMPULAN

Monopoli atau ihtikar  artinya menimbun barang agar yang beredar di masyarakat berkurang, lalu harganya naik. Yang menimbun memperoleh keuntungan besar, sedang masyarakat dirugikan. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum ihtikar ada yang berpendapat Haram secara mutlak, makruh secara mutlak, haram apabila berupa bahan makanan saja , haram ihtikar disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah dan pula yang berpendapat bahwa ihtiakr itu boleh.
Ihtikar dalam salah satu barang kebutuhan manusia, maka perekonomian mereka akan terganggu dan mereka akan kesulitan mendapatkan barang yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain yang luas, apabila ada yang menimbun barang dagangannya yang tidak mempengaruhi perekonomian manusia, sehingga tidak dilarang ihtikar di dalamnya
          Penimbunan barang merupakan halangan terbesar dalam pengaturan persaingan dalam pasar Islam. Dalam tingkat internasional, menimbun barang menjadi penyebab terbesar dari krisis yang dialami oleh manusia sekarang,


Edisi 7 Th. ke-7, 1429 H.
Basyarahil, Salim,  Aziz, H. A., 22 Masalah Agama, Gema Insani Press, Jakarta. Tanpa

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad, e-book Hukum Menimbun Barang Dagangan, Al-Furqon, Gresik, Tahun. Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, , PT Raja Grafindo, Jakarta hlm. 173
http:// dugaliezers.blogspot.com/2011/03/ihtikar-fikih-muamalah-b.html
H. A. Aziz Salim Basyarahil, 22 Masalah Agama, hlm.56, Gema Insani Press, Jakarta. Tanpa Tahun.
Karim, Adiwarman, A., Ir., Ekonomi mikro islami, PT Raja Grafindo, Jakarta
Muhammad Ali, e-book Hukum Menimbun Barang Dagangan, hlm.4Al-Furqon, Gresik, Edisi 7 Th. ke-7, 1429 H
M.Nur riantoAl Arif. Teori Mikro Ekonomi, Jakarta, Rencana, Pernada , 2000
Nurhayati, Sri, Akuntansi Syari'ah di Indonesia, Salemba Empat, Jakarta, 2009.
Ridwan, Ihtikar, http://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/ihtikar/ 
Sudarsosno Heri, Konsep Ekonomi Islam, Yogyakarta CV Adipura, 2004







































[1] Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 7 Tahun 2010Tentang Pedoman Jabatan Rangkap sesuai ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

      [2] Undang-Undang  Republik Indonesia nomor 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dengan rahmat Tuhan yang maha esa presiden republik indonesia,


[3] Nasrun Haroen Fiqh Muamalah, (Jakarta.Gaya Media Prartama, 2000, hal. 58).

      [4] http:// dugaliezers.blogspot.com/2011/03/ihtikar-fikih-muamalah-b.html
[5]  Nasrun Haroen Fiqh Muamalah penerbit gaya media pertama Jakarta. Pemulang  est\ate

              [6] Adiwirman karim   ekonomi  islam, ed 3,-3- Jakarta rajawali  pers 20190

[7] 'Ibid., hal. 212.

[8] http://dugaliezers.blogspot.com/2011/03/ihtikar-fikih-muamalah-b.html

[9] http://mkitasolo.blogspot.com

[10] http://assilasafi.wordpress.com/2011/07/02/akal-dan-wahyu-dalam-perspektif islam
                [11]  ibid
[12]  http://dugaliezers.blogspot.com/2011/03/ihtikar-fikih-muamalah-b.html